Olahraga  

Jumat, 20 Mei 2011

1.      1          KONSEP DASAR DALAM OLAHRAGA



Program pengkondisian dalam olahraga merupakan kegiatan pelatihan dalam membentuk fisik sebagai dasar untuk menunjang pencapaian prestasi disetiap cabang olahraga yang dilatihkan. Program pengkondisian merupakan suatu program yang dilaksanakan pada masa persiapan umum dan khusus yang tujuannya selain untuk membentuk fisik dasar, juga untuk mengatasi cedera pada saat berlatih ataupun dalam masa pelatihan. Program pengkondisian meliputi kekuatan, daya tahan, kelentukan kelincahan dan kesimbangan. Dalam program pengkondisian ini seorang pelatih dituntut untuk menguasai struktur otot yang dominan dalam cabang tersebut, menguasai tipe otot dari semua atlet yang dilatihnya, metode melatih yang tepat sesuai dengan tujuan pelatihan, dan alat-alat apa saja yang tepat untuk melatih berdasarkan tujuan pelatihan. Program pengkondisian menuntut pelatih harus memahami perubahan biokimia dan mikroskopok akibat dari program pengkondisian serta sistem energi yang tejadi pada waktu program pengkondisian dilakukan, serta prinsip-prinsip umum dalam program pengkondisian tersebut dengan maksud agar dalam proses melatih, atlet tersebut dapat berkembang sesuai dengan tujuan yang ditetapkan, pencapaian prestasi dapat terpenuhi, namun yang terpenting adalah tidak terjadi cidera yang fatal pada saat proses pelatihan berlangsung.



Pengkondisian jasmani atau olahraga dapat diklasifikasikan dalam berbagai macam cara. Tabel 1.1 memberikan komponen pengkondisian program jasmani. Secara spesifik, pengertian masing-masing dan penerapan-penerapan komponen guna pencegahan cedera. Cedera, sama halnya pencegahan, dipengaruhi oleh posisi asli dan tata letak otot-otot. Hubungan otot-otot ini dengan joint dan sudut tarik dari otot pada tulang diwaktu-waktu tertentu melalui jangkauan pergerakan, misalnya jika sebuah otot pada aslinya berdekatan dengan joint dan pemasukkannya pada jarak jangkauan dari penghubung. Aksi pergerakan utama akan menjaga dua tulang yang dihubungkan oleh joint dalam perkiraan yang tepat. Pergerakan otot-otot ini menghasilkan stabilitas pada joint (aksi pergerakan otot). Sebuah contoh pada aksi pengstabilan pada otot-otot di penghubung adalah Glenohumeral joint yang mana terdiri atas kepala artikulasi humerous dengan glenoid fusa dipermukaan scapula. Joint kapsul bebas dan fleksibel, perolehan pergerakan dalam jangkauan yang lebar ini, dan mendukung ligamen agak lemah. Otot-otot disekitar bahu memerlukan pengembangan dan pengkondisian agar peningkatan kestabilan secara optimal oleh bahu. Ketika sebuah otot utamanya menghasilkan pergerakan dari penghubung, pengkondisian yang benar dapat memungkinkan otot mencegah pergerakan yang berlebihan. Penghubung otot seringkali beresiko akibat munculnya kekuatan dari dalam (misalnya; tekling atau bloking pada sepak bola). Semua komponen pengkondisian memiliki hubungan timbal balik disesuaikan dengan pengkondisian tiap cabang olahraga dan peranannya untuk mencegah cidera, jelasnya pada tabel dibawah ini:



Tabel 1.1 Komponen-Komponen Pengkondisian dalam Olahraga

Komponen
Pengkondisian
Pengertian
Penerapan pada pencegahan cedera
Kekuatan
Power
Kekuatan maksimal yang dikeluarkan dari usaha sebuah otot
Kekuatan x jarak x waktu atau kekuatan x kecepatan
Untuk menstabilkan daerah tubuh melawan kekuatan yang digunakan
Untuk memendekkan waktu yang digunakan guna meningkatkan tenaga yang digunakan (tipe pergerakan spontan) misal; kemungkinan dibututhkannya respon langsung untuk mengurangi cedera












2.  1     TUJUAN PENDIDIKAN JASMANI


Tujuan Pendidikan Jasmani


                   Pendidikan jasmani memiliki tujuan yang berbeda dengan pelatihan jasmani seperti halnya dalam olahraga prestasi. Pendidikan jasmani diarahkan pada tujuan secara keseluruhan (multilateral) seperti halnya tujuan pendidikan secara umum.



                   Pendidikan jasmani merupakan bagian dari pendidikan secara  umum. Ia merupakan salah satu dari subsistem-subsistem pendidikan. Pendidikan jasmani dapat didefinisikan sebagai suatu proses pendidikan yang ditujukan untuk mencapai tujuan pendidikan melalui gerakan fisik. Telah menjadi kenyataan umum bahwa pendidikan jasmani sebagai satu kenyataan umum bahwa pendidikan jasmani sebagai satu substansi pendidikan mempunyai peran yang berarti mengembangkan kualitas manusia Indonesia.



                   Sebagaimana diterapkan dalam Undang-Undang RI. Nomor II Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa tujuan pendidikan termasuk pendidikan jasmani di Indonesia adalah pengembangan manusia Indonesia seutuhnya ialah manusia yang beriman dan  bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.



                   Apabila Anda bertanya kepada guru Penjas tentang apa tujuan yang hendak dicapai? Jawabannya mungkin bervariasi. Secara ideal, jawaban tersebut terjabar seperti butir-butir berikut:

                   1)      Perkembangan Pribadi

a)             Pertumbuhan fisik optimal

b)            Sehat fisik, mental, sosial, dan spiritual

c)            Kesegaran jasmani optimal

d)            Cerdas

e)            Kreatif dan inovatif

f)             Terampil dalam gerak dan memecahkan masalah

g)            Jujur, disiplin, percaya diri, dan tanggung jawab

                   2)      Hubungan Antar Pribadi dan Lingkungan

a)             Hormat pada sesama

b)            Gotong royong

c)            Luwes (mudah menyesuaikan diri)

d)            Komunikatif dalam ide (konsep) dan pemikiran

e)            Etika (sopan santun)

f)             Menghargai kondisi lingkungan

g)            Melestarikan lingkungan yang sehat dan harmonis

                   3)      Ketahanan Nasional

                            Politik:

a)             Cinta tanah air

b)            Demokrasi Pancasila

c)            Loyal pada Pancasila dan UUD 1945

                Ekonomi:

                a)      Penguasaan informasi dan teknologi

                b)      Etos kerja

               Sosial Budaya:

                a)      Tertib hukum

                b)      Kesetiakawanan Sosial

                Budaya :

                a)      Menghargai karya orang lain

                b)      Berpikir kritis

                c)      Toleransi penerapan Iptek

                Hankam:

                a)      Kesiapan membela negara

                b)      Partisipasi dalam Hankamrata

 


 


Daftar Nama Organisasi Induk Olahraga Di Indonesia - Ilmu Pengetahuan Olahraga


Berikut ini adalah nama organisasi induk cabang olahraga yang ada di Indonesia diurutkan berdasarkan nama cabang olah raga serta singkatan namanya yang diakui oleh KONI / Komite Olahraga Nasional Indonesia yaitu sebagai berikut :

1. Aero Sport = Federasi Aero Sport Indonesia / FASI
2. Anggar = Persatuan Anggar Seluruh Indonesia / IKASI
3. Atletik = Persatuan Atletik Seluruh Indonesia / PASI
4. Baseball = Perserikatan Bisbol dan Sofbol Amatir Seluruh Indonesia / PERBASASI
5. Berkuda = Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia / PORDASI
6. Berlayar = Persatuan Olahraga Layar Seluruh Indonesia / PORLASI
7. Biliar = Persatuan Olahraga Biliar Seluruh Indonesia / POBSI
8. Binaraga = Persatuan Angkat Berat dan Binaraga Seluruh Indonesia / PABBSI
9. Bola Basket = Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia / PERBASI
10. Bola Voli = Persatuan Bola Voli Seluruh Indonesia / PBVSI
11. Boling = Persatuan Boling Indonesia / PBI
12. Bulu Tangkis = Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia / PBSI
13. Catur = Persatuan Catur Seluruh Indonesia / PERCASI
14. Dayung = Persatuan Olahraga Dayung Seluruh Indonesia / PODSI
15. Drum Band = Persatuan Drum Band Indonesia / PDBI
16. Golf = Persatuan Golf Indonesia / PGI
17. Gulat = Persatuan Gulat Amatir Seluruh Indonesia / PGSI
18. Judo = Persatuan Judo Seluruh Indonesia / PJSI
19. Karate = Federasi Olahraga Karate-do Indonesia / FORKI
20. Kartu = Gabungan Bridge Seluruh Indonesia / GABSI
21. Kempo = Persaudaraan Bela Diri Kempo Indonesia / PERKEMI
22. Kesehatan Olahraga = Kesehatan Olahraga Republik Indonesia / KORI
23. Liong & Barongsai = Persatuan Liong & Barongsai Seluruh Indonesia / PLBSI
24. Menembak = Persatuan Menembak dan BerburuIndonesia / PERBAKIN
25. Motor = Ikatan Motor Indonesia / IMI
26. Olahraga air = Persatuan Renang Seluruh Indonesia / PRSI
27. Olahraga Cacat = Badan Pembina Olahraga Cacat / BPOC
28. Olahraga KORPRI = Badan Pembina Olahraga Korps Pegawai Republik Indonesia / BAPOR KORPRI
29. Olahraga Mahasiswa = Badan Pembina Olahraga Mahasiswa Indonesia / BAPOMI
30. Olahraga Pelajar = Badan Pembina Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia / BAPOPSI
31. Olahraga Sepeda = Ikatan Sport Sepeda Indonesia / ISSI
32. Olahraga Wanita = Persatuan Wanita Olahraga Seluruh Indonesia / PERWOSI
33. Panahan = Persatuan Panahan Indonesia / PERPANI
34. Panjat Tebing = Federasi Panjat Tebing Indonesia / FPTI
35. Pecak Silat = Ikatan Pencak Silat Indonesia / IPSI
36. Selam = Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia / POSSI
37. Senam = Persatuan Senam Indonesia / PERSANI
38. Sepak Takraw = Persatuan Sepak Takraw Seluruh Indonesia / PSTI
39. Sepakbola = Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia / PSSI
40. Sepatu Roda = Persatuan Olahraga Sepatu Roda Seluruh Indonesia / PERSEROSI
41. Ski Air = Persatuan Ski Air Seluruh Indonesia / PSASI
42. Sport Dance = Ikatan Olahraga Dansa Indonesia / IODI
43. Squash = Persatuan Squash Indonesia / PSI
44. Taekwondo = Taekwondo Indonesia / TI
45. Tarung Derajat = Keluarga Olahraga Tarung Derajat / KODRAT
46. Tenis = Persatuan Tennis Lapangan Seluruh Indonesia / PELTI
47. Tenis Meja = Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia / PTMSI
48. Tinju = Persatuan Tinju Amatir Indonesia / PERTINA
49. Wartawan Olahraga = Seksi Wartawan Olahraga Persatuan Wartawan Indonesia / SIWO PWI
50. wushu = Wushu Indonesia / WI





3.  1     DASAR-DASAR FILOSOFIS ILMU OLAHRAGA



Dasar filosofis



Kesadaran bahwa olahraga merupakan ilmu secara internasional mulai muncul pertengahan abad 20, dan di Indonesia secara resmi dibakukan melalui deklarasi ilmu olahraga tahun 1998. Beberapa akademisi dan masyarakat awam memang masih pesimis terhadap eksistensi ilmu olahraga, khususnya di Indonesia, terutama dengan melihat kajian dan wacana akademis yang masih sangat terbatas dan kurang integral. Namun sebagai suatu ilmu baru yang diakui secara luas, ilmu olahraga berkembang seiring kompleksitas permasalahan yang ada dengan ketertarikan-ketertarikan ilmiah yang mulai bergairah menunjukkan eksistensi ilmu baru ini ke arah kemapanan.

Filsafat, dalam hal ini dianggap memiliki tanggung jawab penting dalam mempersatukan berbagai kajian ilmu untuk dirumuskan secara padu dan mengakar menuju ilmu olahraga dalam tiga dimensi ilmiahnya (ontologi, epistemologi dan aksiologi) yang kokoh dan sejajar dengan ilmu lain. Ontologi membahas tentang apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologi dari ilmu berhubungan dengan materi yang menjadi obyek penelaahan ilmu, ciri-ciri esensial obyek itu yang berlaku umum. Ontologi berperan dalam perbincangan mengenai pengembangan ilmu, asumsi dasar ilmu dan konsekuensinya pada penerapan ilmu. Ontologi merupakan sarana ilmiah untuk menemukan jalan penanganan masalah secara ilmiah (Van Peursen, 1985: 32). Dalam hal ini ontologi berperan dalam proses konsistensi ekstensif dan intensif dalam pengembangan ilmu. Epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Ini terutama berkaitan dengan metode keilmuan dan sistematika isi ilmu. Metode keilmuan merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan yang telah ada. Sedangkan sistimatisasi isi ilmu dalam hal ini berkaitan dengan batang tubuh ilmu, di mana peta dasar dan pengembangan ilmu pokok dan ilmu cabang yang akan dibahas.

Aksiologi ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatnya. Bila persoalan value free dan value bound ilmu mendominasi fokus perhatian aksiologi pada umumnya, maka dalam hal pengembangan ilmu baru seperti olahraga ini, dimensi aksiologi diperluas lagi sehingga secara inheren mencakup dimensi nilai kehidupan manusia seperti etika, estetika, religius (sisi dalam) dan juga interrelasi ilmu dengan aspek-aspek kehidupan manusia dalam sosialitasnya (sisi luar aksiologi). Keduanya merupakan aspek dari permasalahan transfer pengetahuan. Relevansi filosofis ini pada gilirannya mensyaratkan pula komunikasi lintas, inter dan muiltidisipliner ilmu-ilmu terkait dalam upaya menjawab persoalan dan tantangan yang muncul dari fenomena keolahragaan. Dengan kata lain, proses timbal balik yang sinergis antara khasanah keilmuan dan wilayah praksis muncul, dan menjadi tanggungjawab filsafat untuk mengkritisi, memetakan dan memadukan hal tersebut. Filsafat ilmu olahraga, dengan titik tekan utama pada tiga dimensi keilmuan ini – ontologi, epistemologi, aksiologi – mengeksplorasi ilmu olahraga ini secara mendalam. Ekstensifikasi dan intensifikasi menjadi permasalahan yang amat menentukan eksistensi dan perkembangan ilmu keolahragaan lebih jauh dari hasil eksplorasi ini.



Akar Eksistensi Olahraga

Olahraga, sebagaimana yang dikatakan Richard Scaht (1998: 124), seperti halnya sex, terlalu penting untuk dikacaukan dengan tema lain. Ini tidak hanya tentang latihan demi kesehatan. Tidak hanya permainan untuk hiburan, atau menghabiskan waktu luang, atau untuk kombinasi dari maksud sosial dan rekreasional. Olahraga adalah aktivitas yang memiliki akar eksistensi ontologism sangat alami, yang dapat diamati sejak bayi dalam kandungan sampai dengan bentuk-bentuk gerakan terlatih. Olahraga juga adalah permainan, senada dengan eksistensi manusiawi sebagai makhluk bermain (homo ludens-nya Huizinga). Olahraga adalah tontonan, yang memiliki akar sejarah yang panjang, sejak jaman Yunani Kuno dengan arete, agon, pentathlon sampai dengan Olympic Games di masa modern, di mana dalam sejarahnya, perang dan damai selalu mengawal peristiwa

keolahragaan itu. Olahraga adalah fenomena multidimensi, seperti halnya manusia itu sendiri. Mitos dan agama Yunani awal menampilkan suatu pandangan dunia yang membantu perkembangan kesalinghubungan intrinsik antara makna olahraga dan budaya dasar. Keduanya juga merefleksikan kondisi terbatas dari eksistensi keduniaan, dan bukan sebagai kerajaan transenden dari pembebasan. Nuansa keduniawian tampak pula pada ekspresi naratif tentang kehidupan, rentang luas pengalaman manusiawi, situasionalnya dan suka dukanya. Manifestasi kesakralan terwujud dalam prestasi dan kekuasaan duniawi, kecantikan visual dan campuran dari daya persaingan mempengaruhi situasi kemanusiaan (Hatab, 1998: 98). Budaya Yunani Kuno juga sepenuhnya bersifat agon, persaingan. Puisipuisi Homer dan Hesiod menampilkan diri sebagai konflik di antara daya-daya persaingan. Wajah realitas Yunani Kuno juga mewujud dalam daya-daya persaingan ini: atletik, keindahan fisik, kerajinan tangan, seni-seni visual, nyanyian, tarian, drama dan retorika (Crowell, 1998: 7). Signifikansi agon dapat lebih dipahami dari pandangan tentang ideal kepahlawanan. Dalam Iliad-nya Homer, keberadaan manusia secara esensial adalah mortal dan terarah pada takdir negatif melampaui kendali manusia. Kematian dapat mencapai kompensasi istimewa: keduniawian, kejayaan dan kemasyhuran melalui pengambilan resiko dan pengkonfrontasian kematian pada medan perang, melalui pengujian keberanian manusia melawan satria lain dan kekuatan nasib. Hal terpenting di sini adalah bahwa makna keutamaan terhubung dengan batas-batas dan resiko. Dapat digeneralisir – dalam Iliad itu – bahwa tanpa kemungkinan untuk kalah atau gagal, kemenangan atau keberhasilan tak akan berarti apa-apa (Hatab, 1998: 98).

Atletik (olahraga, dalam tulisan ini kadang-kadang disebut dengan atletik untuk kepentingan penyesuaian konteks) berperan penting dalam dunia Yunani Kuno. Kata atletik berarti konflik atau perjuangan, dan dapat secara langsung diasosiasikan dengan persaingan, di mana kompetisi di tengah-tengah kondisi keterbatasan mambangkitkan makna dan keutamaan. Apa yang membedakan kontes atletik dari hal-hal lain dalam budaya Yunani adalah bahwa atletik menampilkan dan mengkonsentrasikan elemen-elemen duiniawi dalam penampilan fisik dan keahlian, keindahan tubuh, dan hal-hal khusus dari tontonan dramatis (Hatab, 1998: 99). Kontes atletik, seperti yang tampak dalam Iliad, menunjukkan penghargaan yang tinggi masyarakat Yunani terhadap olahraga yang terrepresentasikan sebagai semacam ritual agama dan terorganisir dalam mana kompetisi-kompetisi fisik ditampilkan sebagai analog mimetic (secara menghibur) dari penjelasan agama – baik tentang nasib dan kepahlawanan – dan sebagai penjelmaan rinci signifikansi kultural agon. Sekarang, signifikansi olahraga menurun di dunia Yunani, justru dengan datangnya statemen-statemen filsafat sebagai kompetitor kultural. Nilai penting dari tubuh dan aksi secara bertahap dikalahkan oleh tekanan pada pikiran dan refleksi intelektual. Ketertarikan terhadap transendensi spiritual dan tertib alam

menggeser pengaruh mitos-mitos dan religi seperti dijelaskan di atas. Meskipun Plato dan Aristoteles mengusung nilai penting latihan fisik dalam pendidikan, namun mereka memulai sebuah revolusi intelektual yang meremehkan nilai penting kultural keolahragaan – “remeh” justru karena keterkaitan erat olahraga dengan tubuh, aksi, perjuangan, kompetisi dan prestasi kemenangan (Hatab,1998: 99).



Ekspresi Filosofis Kultur Olahraga

Friederich Nietzsche (terkenal dengan tesisnya: “Tuhan telah mati”)termasuk filsuf yang pemikiran-pemikirannya berhutang banyak pada duniaYunani Kuno yang menghargai atletik sejajar dengan intelek. Nietzsche adalahseorang filsuf kontroversial yang paling banyak dirujuk sebagai penyumbang taklangsung debat akademis tentang kaitan pemikiran filsafat dan ilmukeolahragaan. Bahkan beberapa penulis, seperti Richard Schacht, menyebut“filsafat olahraga Nietzscheian” sebagai istilah penting dalam bahasan ilmiahnya,Nietzsche and Sport, meskipun istilah ini masih perlu dicurigai sebagai terlalu

maju dan ahistoris, oleh karena pemikir lain seperti Lawrence J. Hatab (1998: 78) menyatakan bahwa Nietzsche sedikit sekali atau bahkan tak pernah bicara tentang aktivitas atletik dan olahraga secara langsung. Hatab mengeksplorasi Nietzsche hanya dalam kaitan pemikirannya yang dapat diasosiasikan dan mengarah pada tema keolahragaan. Hatab mengeksplorasi beberapa pemikiran Nietzsche seperti will to power, sublimation, embodiment, spectacle dan play yang terarah pada aktivitas atletik dan event-event olahraga (Hatab, 1998: 102). Dari sini, dapat dimaknai bahwa arah pemikiran yang berhubungan secara historis pada dunia keolahragaan termasuk dalam ekspresi pemikiran filosofis, dan oleh karenanya, ilmu keolahragaan memiliki akar filosofisnya.

Perspektif naturalistik Nietzsche ini menjelaskan mengapa banyak orang menyukai permainan dan menyaksikan pertandingan olahraga, dan kenapa hal-hal tersebut dapat dianggap memiliki nilai dan manfaat yang besar. Pertunjukan atletik adalah penampilan dan proses produksi makna kultural penting. Ini dapat dilihat dari efek kesehatan dan pengembangan keahlian fisik. Selain itu, pertunjukan olahraga juga dapat dipahami sebagai tontonan publik yang mendramatisir keterbatasan dunia yang hidup, prestasi teatrikal dari keadaan umat manusia, pengejaran, perjuangan-perjuangan sukses dan gagal. Dari sudut pandang pengembangan sumber daya manusia, sudah jelas bahwa olahraga dapat menanamkan kebajikan-kebajikan tertentu dalam keikutsertaan disiplin, kerja tim, keberanian dan intelegensi praktis (Hatab, 1998: 103). Konsekuensi dari semua itu, permainan olahraga adalah cukup “serius” untuk diangkat ke tingkat penghargaan budaya yang lebih tinggi (Hatab, 1998:106), sehingga filsafat mau tak mau harus berani mengkaji ulang “tradisinya” sendiri yang menekankan jiwa atas tubuh, harmoni atas konflik, dan mengakui bahwa olahraga memiliki kandungan nilai-nilai fundamental bagi keberadaan manusia. Begitulah, di dunia Yunani Kuno, lokus asal muasal pemikiran filsafat Barat, olahraga tak hanya populer, tetapi menempati penghargaan kultural

terhormat.

Namun demikian, Steven Galt Crowell (1998: 113) dengan mengeksplorasi secara mendalam feneomena olahraga sebagai tontonan dan permainan, mengungkap sisi-sisi buramnya: brutalitas, agresifitas, dan “merusak kesehatan”. Dalam hal yang terakhir, olahraga disebutnya sebagai alat alamiah untuk “war on drugs”, olahraga ditampilkan sebagai alternatif pengobatan ketika para praktisi terkemuka menemukan obat-obatan sebagai bagian alami dari gaya hidup atlit olahraga. Apabila di jaman Yunani Kuno atlitnya mendemonstrasikan atletik dengan keahlian yang langsung berimplikasi pada keseharian si atlit, di mana nilai-nilai keksatriaan dimunculkan, pada atlit sekarang keberanian sedemikian otonomnya, sehingga yang menampak adalah demonstrasi ketiadaartian kecakapan. Tontonan menawarkan individu-individu yang mengkonsentrasikan seluruh keberadaannya, ke dalam satu permasalahan. Individu-individu tersebut meniru apa yang oleh Nietzsche disebut “inverse cripples” (ketimpangan terbalik), di mana keberadaan manusia “kurang segala sesuatunya kecuali untuk satu hal yang mereka terlalu banyak memilikinya – keberadaan manusia yang adalah tak lain daripada mata besar, mulut besar, perut besar, segalanya serba besar” (Crowell, 1998: 115). Atlit sekarang bukanlah Tuan, tetapi Budak, bukan teladan dari apa artinya menjadi manusia, tetapi sekedar fokus untuk hidup yang tak dialami sendiri dari penonton yang pujian-pujiannya menjadi rantai yang mengikat atlit itu sendiri (teralienasi - dalam bahasa patologi sosialnya Erich Fromm). Dari tontonan kompetitif seperti ini, tak ada artinya “aturan urutan juara”: kemenangan di beli dan dibayarkan, olahraga sebagai tontonan, dan ini secara esensial berarti bicara tentang hidup yang tak dialami sendiri.



Deklarasi Ilmu Olahraga

Beberapa pendapat di atas bagaimanapun mencerminkan suatu perhatian filosofis yang diakronik terhadap olahraga sebagai fenomena yang monumentaldi jaman ini (setidaknya dengan mengukur antusiasme masyarakat awam terhadap tontonan olahraga baik langsung di stadion maupun di televisi, atau dengan larisnya majalah atau kolom keolahragaan, berikut fenomena “megasponsor” dan perjudian di dalamnya). Lalu, bagaimana tuntutan perkembangan keolahragaan sebagai ilmu itu di Indonesia khususnya dan masyarakat akademis dunia pada umumnya?

Terdorong oleh rasa ingin mencari jawaban tepat terhadap pertanyaan:

apakah olahraga merupakan ilmu yang berdiri sendiri, dan sebagai tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya, maka diselenggarakanlah pada tahun 1998 di Surabaya suatu Seminar Lokakarya Nasional Ilmu Keolahragaan. Seminar ini mampu melahirkan kesepakatan tentang pendefinisian pengertian olahraga yang dikenal dengan nama Deklarasi Surabaya 1998 tentang Ilmu Keolahragaan, sebagai jawaban bahwa olahraga merupakan ilmu yang mandiri. Sebagai ilmu yang mandiri, olahraga harus dapat memenuhi 3 kriteria: obyek, metode dan pengorganisasian yang khas, dan ini dicakup dalam paparan tentang ontologi, epistemologi dan aksiologi (Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan, 2000: 1-2, 6). Dari sini, filsafat ilmu muncul sebagai suatu kebutuhan.

Earle F. Zeigler (1977) mengaitkan pendidikan keolahragaan dengan filsafat olahraga dengan mencoba mengurai berbagai aspek yang dianggap terkait dengan berbagai dimensi yang muncul dari fenomena keolahragaan, terutama dalam hal dimensi edukatifnya. Tampaknya banyak penelitian serupa yang menggagas filsafat ilmu keolahragaan dalam tinjauan yang kurang lebih diasalkan pada pendidikan jasmani. C.A. Bucher dengan bukunya Foundation of Physical Education and Sport (1995), William H. dalam buku Physical Education and Sport a Changing Society (1987), adalah beberapa karya yang bernuansa filsafat ilmu keolahragaan, namun pembahasan yang diambil lebih

merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu terkait untuk membangun dasardasar ilmu keolahragaan, sedangkan hakikat dimensi ontologi, epistemonogi dan aksiologi belum sepenuhnya digarap mendalam dan mengakar.

Aspek pertama, ontologi, setidaknya dapat dirunut dari obyek studi ilmu keolahragaan yang unik dan tidak dikaji ilmu lain. Sebagai rumusan awal, UNESCO mendefinisikan olahraga sebagai “setiap aktivitas fisik berupa permainan yang berisikan perjuangan melawan unsur-unsur alam, orang lain, ataupun diri sendiri”. Sedangkan Dewan Eropa merumuskan olahraga sebagai

“aktivitas spontan, bebas dan dilaksanakan dalam waktu luang”. Definisi terakhir ini merupakan cikal bakal panji olahraga di dunia “Sport for All” dan di Indonesia tahun 1983, “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat” (Rusli dan Sumardianto, 2000: 6). “Aktivitas”, sebagai kata yang mewakili definisi olahraga, menunjukkan suatu gerak, dalam hal ini gerak manusia, manusia yang menggerakkan dirinya secara sadar dan bertujuan. Oleh karena itu, menurut KDI keolahragaan, obyek

material ilmu keolahragaan adalah gerak insani dan obyek formalnya adalah gerak manusia dalam rangka pembentukan dan pendidikan. Dalam hal ini, raga/tubuh adalah sasaran yang terpenting dan paling mendasar. Penelitian filosofis untuk itu sangat diharapkan menyentuh sisi tubuh manuisiawi sebagai kaitan tak terpisah dengan jiwa/pikiran, apalagi dengan fenomena maraknya arah mode atau tekanan kecintaan masyarakat luas terhadap bentuk tubuh ideal. Seneca, seorang filsuf dan guru kaisar Nero mengatakan: oran dum es ut sit ‘Mens Sana in Corpore Sano’” yang secara bebas dapat ditafsirkan bahwa menyehatkan jasmani dengan latihan-latihan fisik adalah salah satu jalan untuk mencegah timbulnya pikiran-pikiran yang tidak sehat yang membawa orang

kepada perbuatan-perbuatan yang tidak baik (Noerbai, 2000: 35). Ilmu keolahragaan sebagai satu konsekuensi ilmiah fenomena keolahragaan berarti pengetahuan yang sistematik dan terorganisir tentang fenomena keolahragaan yang dibangun melalui sistem penelitian ilmiah yang diperoleh darimedan-medan penyelidikan (KDI Keolahragaan, 2000: 8).

Aspek kedua sebagai dimensi filsafat ilmu adalah epistemologi yangmempertanyakan bagaimana pengetahuan diperoleh dan apa isi pengetahuan itu.Ilmu keolahragaan dalam pengembangannya didekati melalui pendekatanmultidisipliner, lintasdisipliner dan interdisipliner. Pendekatan multidisiplinerditandai oleh orientasi vertikal karena merupakan penggabungan beberapadisiplin ilmu. Interdisipliner ditandai oleh interaksi dua atau lebih disiplin ilmuberbeda dalam bentuk komunikasi konsep atau ide. Sedangkan pendekatanlintasdisipliner ditandai orientasi horisontal karena melumatnya batas-batas ilmu yang sudah mapan. Ketiga pendekatan di atas dalam khasanah ilmu keolahragaan membentuik batang tubuh ilmu sebagai jawaban atas pertanyaan apa isi ilmu keolahragaan itu. Inti kajian ilmu keolahragaan adalah Teori Latihan, Belajar Gerak, Ilmu Gerak, Teori Bermain dan Teori Instruksi yang didukung oleh ilmu-ilmu Kedokteran Olahraga, Ergofisiologi, Biomekanika, Sosiologi Olahraga, Pedagogi Olahraga, Psikologi Olahraga, Sejarah Olahraga dan Filsafat Olahraga. Akar dari batang tubuh ilmu keolahragaan terdiri dari Humaniora – terwujud dalam antropokinetika; Ilmu Pengetahuan Alam – terwujud dalam Somatokinetika; dan Ilmu Pengetahuan Sosial – terwujud dalam Sosiokinetika (KDI Keolahragaan,2000: 33-34).

Aksiologi - aspek ketiga - berkaitan dengan nilai-nilai, untuk apa manfaat suatu kajian. Secara aksiologi olahraga mengandung nilai-nilai ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan strategis dalam pengikat ketahanan nasional (KDI Keolahragaan, 2000: 36). Sisi luar aksiologis ini menempati porsi yang paling banyak, dibandingkan sisi dalamnya yang memang lebih sarat filosofinya. Kecenderungan-kecenderungan sisi aksiologi keolahragaan ini secara akademis menempati sisi yang tak bisa diabaikan, bahkan cenderung paling banyak diminati untuk dieksplorasi. Ini termasuk dari sisi estetisnya, di mana Randolph Feezell mengulasnya secara fenomenologis, selain dimensi naratifnya

(Feezell, 1989: 204-220). Kemungkinan nilai etisnya, Dietmar Mieth (1989: 79-92) membahasnya secara ekstensif dan komprehensif. Thomas Ryan (1989: 110-118) membahas kaitan olahraga dengan arah spiritualitasnya. Nancy Shinabargar (1989: 44-53) secara sosiologis membahas dimensi feminis dalam olahraga. Yang tersebut di atas adalah beberapa contoh cakupan dimensi ilmu keolahragaan dalam filsafat ilmu, di mana ekstensifikasi dan intensifikasi masih luas menantang. Bertaburan dan tumbuh suburnya ilmu-ilmu yang berangkat dari dimensi ontologi, epistemologi dan aksiologi, membuktikan bahwa apa yang Paul Weiss tulis dalam bukunya Sport: A Philosophy Inquiry (1969: 12) bahwa semakin banyak renungan filosofis yang mengarahkan keingintahuan mendalam dan keterpesonaan terhadap olahraga, memiliki daya prediktif, persuasif dan benar adanya. Ini perlu dimaknai secara operasional-ilmiah. Sampai dengan abad 21 ini, fenomena signifikansi dan kejelasan transkultural dari olahraga menempati salah satu koridor akademis ilmiah yang membutuhkan lebih banyak penggagas dan

kreator ide (Hyland, 1990: 33). Kecenderungan minat keilmuan yang makin ekstensif dan intensif ini membawa implikasi logis bagi filsafat untuk mengasah mata pisau “keibuannya”, mengingat dari sejarahnya, filsafat dianggap mater scientarum: “ibunya ilmu”, dalam memberi tempat bagi pertanyaan dan jawaban mendasar atau inti isi ilmu

keolahragaan sekaligus mengasuh cabang-cabang ranting ilmu keolahragaan ini.



4.  1     SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN JASMANI


Istilah sarana mengandung arti sesuatu yang dapat digunakan atau dapat dimanfaatkan. Sarana pendidikan jasmani ialah segala sesuatu yang dapat digunakan atau dimanfaatkan di dalam pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan. Termasuk didalamnya peralatan (aparatus), yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh siswa untuk melakukan kegiatan diatasnya, didalam / diantaranya atau dibawahnya. Misalnya : peti lompat (bertumpu diatasnya), bangku swedia (untuk merangkak, meniti, melompati, dan sebagainya),gelang-gelang, tiang dan matras lompat tinggi dan sebagainya. Demikian juga dengan perlengkapan (device), yaitu segala sesuatu yang melengkapi kebutuhan prasarana. Misalnya ; tanda bendera, garis pembatas, atau segala sesuatu yang dapat dimanipulasi dengan tangan atau kaki misalnya raket, bola, pemukul, dan sebagainya.
Seperti halnya prasarana pendidikan jasmani, maka sarana penjas juga bisa mewarnai pelaksanaan pembelajaran pendidikan jasmani disekolah-sekolah.
Sebelum mempelajari lebih lanjut tulisan ini, coba anda jawab sendiri beberapa pertanyaan dibawah ini :
a) Dengan sarana yang dimiliki oleh sekolah anda, apakah anda bisa melakukan aktivitas pendidikan jasmani secara optimal ?
b) Apakah sebagaian besar kecabangan olahraga yang diprogramkan bisa berjalan sesuai dengan rencana yang anda susun ?
c) Apakah siswa bisa beraktivitas fisik secara optimal ?
d) Apakah jumlah atau mutu sarana yang dimiliki oleh sekolah anda bisa ditingkatkan ?
Sungguh berbahagialah bagi mereka (guru pendidikan jasmani) yang disekolahnya memiliki fasilitas pendidikan jasmani yang memadai karena bisa melibatkan berbagai pihak untuk menunjang kelancaran pembelajaran pendidikan jasmani. Namun demikian, banyak sekolah-sekolah yang tidak memiliki fasilitas pendidikan jasmani yang layak dan memadai bahkan sering kali harus mencari lahan kosong atau berdesak-desakan dengan beberapa sekolah lain untuk bisa menggunakan lahan yang ada. Belum lagi sarana yang mereka miliki juga sangat terbatas.
Oleh karena itu, jangan heran bila pelaksanaan pendidikan jasmani dari hari ke hari hanya begitu-begitu saja dan acapkali membosankan para siswa sendiri. Ujung-ujungnya bisa ada tanggapan bahwa pendidikan jasmani dianggap tidak begitu perlu.
Salah satu kendala kurang lancarnya pembelajaran pendidikan jasmani disekolah-sekolah, adalah kurang memadainya sarana yang dimiliki oleh sekolah-sekolah tersebut. Disamping itu ketergantungan para guru penjas pada sarana yang standar serta pendekatan pembelajaran pada penyajian teknik-teknik dasar juga standar sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan. Kedua hal tersebut menyebabkan pola pembelajaran yang kurang variatif dan cenderung membosankan siswa peserta didik.
Sebenarnya untuk pembelajaran pendidikan jasmani, seorang guru dapat berbuat banyak dan lebih lelusa dalam menggunakan, memanfaatkan , mengembangkan atau bahkan memodifikasi sarana yang akan digunakan. Dalam situasi dan kondisi sekolah-sekolah dewasa ini, dimana ruang gerak para siswa untuk beraktivitas fisik semakin berkurang, apalagi untuk melakukan kegiatan olahraga kecabangan dengan pendekatan konvensional, kiranya pemberian gerak dasar umum maupun gerak dasar dominan harus banyak dilakukan.
Dengan upaya tersebut diharapkan siswa peserta didik akan memiliki pengalaman gerak yang banyak serta beragam, sehingga ia pun akan menjadi anak yang kaya gerak dan bisa membina serta menumbuhkan konsep-konsep gerak yang variatif. Pengembangan sarana pendidikan jasmani artinya melengkapi yang sudah ada dengan cara mengadakan, memperbanyak dan membuat alat-alat yang sederhana atau memodifikasi. Tujuannya adalah untuk memberdayakan anak, agar bisa lebih banyak bergerak dalam situasi yang menarik dan gembira tanpa kehilangan esensi pendidikan jasmani itu sendiri.
Manakala mereka sadari bahwa anak didik kita perlu dibekali dengan berbagai gerak dasar umum maupun gerak dasar dominan dari setiap kecabangan olahraga, maka alat apapun bisa dimanfaatkan yang terpenting adalah kegiatan tersebut pada akhirnya tidak akan menghilangkan makna serta esensi pendidikan jasmani antara lain :
(a) Siswa tetap memperoleh kepuasan dalam mengikuti pelajaran pendidikan jasmani.
(b) Meningkatkan kemungkinan keberhasilan dlam berpartisipasi.
(c) Karena selalu difasilitasi dengan pembelajaran pola gerak dasar umum yang banyak dan berkali-kali dilakukan, maka pada akhirnya diharapkan siswa dapat melakukan pola gerak secara benar.



5.   1    RUANG LINGKUP.

Ruang lingkup materi mata pelajaran Pendidikan Jasmani untuk jenjang

SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA adalah sebagai berikut





*) Aspek/sub aspek yang diberi tanda bintang dapat digunakan sebagai

materi pokok untuk mencapai kompetensi dasar yang relevan



Keterangan:

Permainan dan olahraga:

Permainan dan olahraga terdiri dari berbagai jenis permainan dan

olahraga baik terstruktur maupun tidak yang dilakukan secara

perorangan maupun beregu. Dalam aktivitas ini termasuk juga

pengembangan aspek pengetahuan yang relevan dan sistem nilai seperti;

kerjasama, sportivitas, jujur, berfikir kritis, dan patuh pada peraturan

yang berlaku.



Aktivitas Pengembangan:

Aktivitas pengembangan berisi tentang kegiatan yang berfungsi untuk

membentuk postur tubuh yang ideal dan pengembangan komponen

kebugaran jasmani. Dalam aktivitas ini termasuk juga pengembangan

aspek pengetahuan yang relevan serta nilai-nilai yang terkandung di

dalamnya, seperti; kekuatan, daya tahan, keseimbangan, dan kelenturan

tubuh, bentuk latihan yang dilakukan dalam aktivitas ini misalnya; pullup,

sit-up, back-up, push-up, squat-jump dan lain-lain. X

Aktivitas senam:

Aktivitas senam berisi tentang kegiatan yang berhubungan dengan

ketangkasan seperti, senam lantai, senam alat dan aktivitas fisik lainnya

yang bertujuan untuk melatih keberanian, kapasitas diri, dan

pengembangan aspek pengetahuan yang relevan serta nilai-nilai yang

terkandung di dalamnya.



Aktivitas Ritmik:

Aktivitas ritmik berisi tentang hubungan gerak dengan irama dan juga

pengembangan aspek pengetahuan yang relevan serta nilai-nilai yang

terkandung di dalamnya. Dalam proses pembelajarannya memfokuskan

pada kesesuaian atau keterpaduan antara gerak dan irama.



Akuatik (Aktivitas Air):

Akuatik (aktivitas air) berisi tentang kegiatan di air, seperti;

permainan air, gaya-gaya renang, dan keselamatan di air, serta

pengembangan aspek pengetahuan yang relevan serta nilai-nilai yang

terkandung di dalamnya.



Pendidikan Luar Kelas (Outdoor Education)

Aktivitas Luar Sekolah berisi tentang kegiatan di luar kelas/sekolah dan

di alam bebas lainnya, seperti; bermain di lingkungan sekolah, taman,

perkampungan pertanian/nelayan, berkemah, dan kegiatan yang bersifat

kepetualangan (mendaki gunung, menelusuri sungai, kano dan lainnya),

serta pengembangan aspek pengetahuan yang relevan serta nilai-nilai

yang terkandung di dalamnya.





Kesimpulan

Ilmu Olahraga merupakan pengetahuan yang sistematis dan terorganisirtentang fenomena keolahragaan yang memiliki obyek, metode, sistematika ilmiahdan sifat universal yang dibangun melalui sebuah sistem penelitian ilmiah yangdiperoleh dari macam-macam penyelidikan, yang produk nyatanya tampak dalambatang tubuh pengetahuan ilmu olahraga dengan pendekatan pengembangankeilmuan yang multidisipliner sehingga secara aksiologis pemaknaan domainperilaku gerak – olahraga – membuka spektrum nilai yang normatif-teoritis(etika, estetika, kesehatan beserta pengembangannya) dan nilai-nilai yang praktisprofesional(pengajaran dan pelatihan, manajemen, rehabilitasi ataupun rekreasiolahraga beserta pengembangannya).



Pembahasan yang mencoba mengintegrasikan disiplin ilmu untuk

memaknai dasar-dasar teoritis ilmu keolahragaan sebagai ilmu baru memang

sudah ada dan dalam penelitian ini digunakan sebagai referensi, namun relevansi

filsafati-ilmiahnya masih sangat minim. Meskipun pro dan kontra ilmu

keolahragaan sebagai suatu ilmu mandiri sudah surut, namun tantangan yang

muncul kemudian sebagai kompensasi eksistensi ilmu keolahragaan melalui

tantangan itu adalah ekstensifikasi dan intensifikasi ilmu keolahragaan yang

mensyaratkan filsafat sebagai eksplorer pokoknya dengan didasarkan atas azaz umum pengetahuan olah raga.




AddThis Social Bookmark Button

0 komentar: to “ Olahraga

Design by Blogger Buster | Distributed by Blogging Tips